25 November 2005

Syariat Islam di Aceh, Siasat Budaya Neo-Snouckis? [1]

Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Apakah agama diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang bercitra sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan? Namun, bukankah agama juga bisa diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang bercitra sebagaimana yang dikehendaki oleh manusia.

Bahkan, negara pun bisa menggunakan agama untuk mencitra manusia sesuai dengan yang dikendaki ideologinya (nasionalisme).

Persoalan pertama, agama masih berada dalam wilayah teologis. Sedangkan persoalan berikutnya, agama sudah berada di wilayah ideologis. Dalam perspektif pascakolonial, agama sudah menjadi instrumen dalam proyek kolonialisme. Perbedaannya, jika persoalan yang kedua aktornya adalah individu atau komunitas ulama, maka persoalan yang ketiga aktornya adalah negara (institusi politik). Celakanya, bahkan kerap, aktor individu jumbuh dengan aktor negara jika kita melihat pada konteks kehidupan orang Aceh.

Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), agama sebagai instrumen kolonial, tercermin dalam pertanyaan yang diajukan kepada responden di Aceh: “Apakah ibu/bapak lebih merasa sebagai orang dari suku-bangsa asal seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll., lebih sebagai orang dari agama tertentu (Islam, Kristen, dll.), atau lebih merasa sebagai orang Indonesia?” Perumus pertanyaan tersebut membandingkan antara identitas etnik, religius dan ideologis. Hasilnya, menurut LSI bahwa orang Aceh lebih bangga menjadi orang Indonesia daripada seorang muslim. Dengan lain kata, keindonesiaan (identitas ideologis) telah melampaui keislaman (identitas religiusitas) dan keacehan (identitas etnis).

Untuk mendapatkan konteks historis dan kekinian agama dalam perspektif pascakolonial, Aceh memang merupakan wilayah—dalam artian teritori dan waktu—di mana agama telah menjadi prototipe ideal instrumen kolonialisasi. Meskipun hal ini sering berada di luar kesadaran sosiologis orang Aceh. Bahkan ulama Aceh itu sendiri, serta cendekiawan muslim nusantara serta komunitasnya tidak sadar jika mereka telah berubah dari aktor teologis menjadi aktor ideologis yang mana mereka telah menggunakan agama sebagai instrumen kolonialisasi— teristimewa dalam periode bernegara pascakolonial (selepas 1945, red).

Dalam teori pascakolonial, negara pusat bukan saja mengambil alih secara paksa sebuah wilayah dan populasi manusia, tetapi juga menciptakan sistem ekonomi, politik dan budaya kolonial di wilayah itu yang memberikan keuntungan semaksimal mungkin pada negara pusat. Negara pusat terus berpikir untuk menciptakan siasat militer, dan siasat kebudayaan agar wilayah dan populasi yang dikuasainya menjelma menjadi sebuah koloni yang kompleks.

Pada intinya, siasat kebudayaan adalah penghilangan keaslian karakter budaya di koloni (dekonstruktif) sehingga terbentuk mental “kompleks inferioritas”, serta membentuk budaya baru yang berkiblat ke pusat koloni (rekonstruktif).


Snouckis

Dalam kerangka berpikir siasat kebudayaan (kolonialisasi) itulah, Pemerintah Kolonial Belanda mengirim Snock Hurgronje. Apalagi, siasat militer tidak berhasil menjadikan Aceh sebagai sebuah koloni yang utuh. Perang Aceh berhasil mengulur waktu yang panjang (1873-1949), menyita energi yang melelahkan dan menguras dana yang sangat besar. Bahkan melampaui daya dukung keuangan serikat dagang dan negara itu sendiri.

Dampak negatif lainnya bagi negara pusat, siasat militer justru mengkristalkan spirit perlawanan yang manifes maupun laten di dalam diri orang Aceh. Di satu sisi, orang Aceh semakin mengidealkan dirinya menjadi gerilyawan, dan berakhir sebagai syuhada. Idealisasi orang Aceh bukan dalam artian sentimen terhadap nonmuslim, melainkan bertindak memerangi kemungkaran yang aktornya secara kebetulan jumbuh dengan individu non-muslim dan negara asing. Di sisi lain, serdadu mengalami stress dan menjadi bertindak brutal, juga para perwira tingginya.

Apakah siasat kebudayaan kolonial yang dijalankan Snouck di Aceh?

Target siasat itu langsung ke akar yang menghidupkan orang Aceh, yakni Islam. Karena itu, Snouck melakukan riset yang intensif untuk mengetahui pengaruh Islam terhadap kehidupan politik, ekonomi dan budaya orang Aceh. Meskipun hasil risetnya lebih tepat disebut sebagai studi kasus tentang eksistensi agama dalam kehidupan orang Aceh yang berada di wilayah dataran rendah, Aceh Besar. Meskipun demikian, studi ini memberikan inspirasi pada Snouck untuk merumuskan siasat budaya bagaimana ‘menjinakkan’ Islam di Aceh khususnya, dan wilayah koloni Hindia Belanda umumnya.

Siasat kebudayaan ini bukanlah kristenisasi, melainkan reislamisasi orang Aceh. Bukan pula, transformasi identitas dari keislaman menjadi kebelandaan. Islam yang berspirit melawan (kemungkaran) negara pusat harus direkonstruksi menjadi Islam yang loyal terhadap pusat kolonial, tanpa peduli terhadap kemungkaran. Islam harus dijadikan instrumen utama kolonialisasi.

Ada perbedaan yang tajam antara siasat militer dan siasat kebudayaan kolonial. Siasat militer, jika jenderal mati, maka mesjid di bakar. Ketika Kohler mati, maka Masjid Raya pun dibakar oleh serdadunya. Siasat kebudayaan justru sebaliknya, aktor kolonial harus menjadi imam mesjid, maka mesjid harus dibangun lebih megah lagi. Karena itu, proyek budaya yang utama adalah membangun kembali Masjid Raya dengan merujuk pada arsitektur Taj Mahal yang megah dan menyimbolkan kecintaan yang dalam.

Di sisi lain, Snouck mendekonstruksi identitas keacehan. Bahwa negara tradisional Aceh adalah negara perompak. Bahwa tingkat intelektualitas keagamaan ulama Aceh adalah rendah. Bahwa religiusitas orang Aceh adalah mistis dan takhayul. Padahal, di sisi lain, Snouck mengakui spirit keagamaan orang Aceh berbasis pada sufisme.

Selain merekonstruksi mesjid, Snouck mengintervensi manajemen masjid—bahkan ia berhasil menjadi imam besar—setelah bekerjasama dengan seorang kadi hulubalang Aceh. Tahap berikutnya, Snouck menata kembali institusi keagamaan agar lebih birokratis. Hal yang penting adalah pengangkatan H. Hasan Mustapa—kenalan utamanya sejak di Mekkah dan ulama yang berasal dari kalangan kelas menengah Sunda—sebagai Penghulu Besar di Aceh selama dua tahun. Lalu, ia diganti oleh Raden Haji Muhammad Rusydi—yang masih memiliki tali kekerabatan. Sejak itulah Islam menjadi instrumen politik kolonial yang terlembaga, yang kemudian dilanjutkan di dalam konteks Indonesia sebagai departemen agama.

Neo-Snouckis

Dari perspektif pascakolonial, apakah siasat budaya kolonial masih terus dilanjutkan di dalam negara modern Indonesia—dengan versi barunya, yakni kolonialisme modern—yang selaras dengan prinsip negara kesatuan?

Jika kita mengacu pada tesis Loomba, maka kemerdekaan tidak secara otomatis memusnahkan siasat budaya kolonial. Bahkan, kelangsungan siasat budaya kolonial bisa dimanipulasi sebagai bagian dari semangat nasionalisme yang terus-menerus dipompa oleh elite penguasa negara baru.

Dalam kolonialisme modern, wilayah politik terbagi dua, yakni pusat dan daerah dalam relasi yang sentralistik. Sistem demikian juga dipakai di Indonesia. Polanya, sistem politik harus memperkuat otoritas pusat dan memperlemah otoritas daerah. Sistem ekonominya, daerah adalah wilayah eksploitasi sumberdaya alam dan pusat adalah pengelola hasil sumberdaya alam itu.

Dalam sistem kolonial lama, daerah yang memberikan upeti ke pusat. Sekarang, bukan lagi upeti, tetapi semua alat produksi dimiliki dan dikelola oleh pusat. Pusat ‘menyedekahkan’ hasilnya kepada setiap daerah, sesuai dengan kemurahan hati pusat. Kemudian, daerah adalah pasar dan konsumen terhadap industri yang menumpuk di (wilayah) pusat kekuasaan.

Bagaimanakah dengan siasat yang berkenaan dengan identitas budaya daerah? Apakah setelah kemerdekaan, identitas budaya lokal yang telah dipunahkan oleh pemerintah kolonial mendapat kesempatan atau didorong kembali untuk hidup oleh penguasa pusat?

Rezim Soekarno

Fenomena gerakan pemberontakan daerah, khususnya DI/TII di Aceh dalam periode Soekarno, jika dilihat dari perspektif pascakolonial, adalah akibat dari masih dilanjutkannya sistem-sistem kolonial itu. Apa yang dilakukan oleh Tgk Daud Beureueh adalah perlawanan terhadap dominasi sistem kolonial modern yang dipraktekkan rezim Soekarno. Praktek kolonial modern ini sangat terasa di luar wilayah Indonesia Luar ketimbang di Indonesia Dalam (dalam pembagian Geertz).

Di wilayah Indonesia Luar, pihak kolonial relatif tidak memiliki waktu yang cukup untuk membangun sistem politik dan ekonomi yang kuat atau, wilayah ini tidak pernah menjadi pusat kolonial. Akibatnya, ada pola metamorfose yang berbeda dalam menyikapi kelanjutan sistem kolonial antar komunitas keagamaan di Indonesia. Di sana, komunitas keagamaan membangun perlawanan terhadap dominasi pusat, termasuk menjadi gerakan politik bersenjata. Apalagi sebagian dari tokohnya adalah pemimpin gerilya di masa kolonial.

Di Indonesia Dalam, komunitas keagamaan berupaya mengintegrasikan diri ke dalam struktur birokrasi pemerintahan. Karena itu terjadi kompetisi politik yang tajam, misalnya antara NU dan Muhammadiyah, dalam perebutan jabatan kementerian agama—yang merupakan proyek kolonial. Mereka berebut menjadi bagian dari rezim baru yang melanjutkan proyek kolonial.

Relasinya dengan kekuasaan, NU mengeluarkan fatwa bughat terhadap gerakan perlawanan muslim di wilayah Indonesia Luar. Fatwa ini merupakan bentuk awal komunitas keagamaan yang jumbuh dengan kekuasaan. Sebuah fatwa yang menghalalkan pembunuhan muslim di Indonesia. Berikutnya, adalah keterlibatan mereka dalam aksi pembasmian PKI yang dimobilisasi serdadu.

Sementara siasat budaya yang menyangkut identitas daerah, Pusat membangun versi baru. Jika dahulu kebanggaan identitas dikaitkan dengan Hindia Belanda, maka sekarang kebanggaan terhadap keindonesiaan (nasionalisme), mulai dari propaganda “ganyang Malaysia” hingga kebanggaan terhadap proyek-proyek mercusuar. Ganyang Malaysia menunjuk pada kebencian sesama etnik melayu akibat nasionalisme (hitam).

Di Aceh, orang mulai bangga menyebutkkan bahwa pabrik Gula Cot Girek adalah pabrik terbesar dan termodern di Indonesia. Orang Aceh merasa inferior atau tidak modern bila tidak berbahasa Indonesia. Sementara, konsesi politik pasca DI/TII yang berkenaan dengan tiga keistimewaan Aceh (dalam bidang agama, adat dan pendidikan)—yang sebenarnya dapat menjadi basis bagi siasat budaya perlawanan lokal terhadap budaya dominan—tidak berjalan.

Sumber: Acehkita

5 Comments:

At 8:29 PM, Blogger ailumulia said...

sekarang,kehidupan sangat bervariasi di aceh-
GAM, Nasionalisme perdamaian, Tsunami, Humanitarian worker non Aceh, expat, tsunami tourism...

terus terang saya tidak bisa menebak ke arah mana aceh akah akan berkembang secara psikologis..

semoga semua akan baik baik saja

 
At 1:09 PM, Blogger lintasberita said...

Artikel-artikel di blog ini bagus-bagus. Coba lebih dipopulerkan lagi di Lintasberita.com akan lebih berguna buat pembaca di seluruh tanah air. Salam Blogger!

http://www.lintasberita.com/Lokal/Syariat_Islam_di_Aceh_Siasat_Budaya_Neo-Snouckis/

 
At 10:52 AM, Blogger yang merasainya said...

salam, get the latest colors and designs of tudung and clothes, exclusively at http://blissmuslimah.blogspot.com

 
At 12:21 AM, Anonymous Anonymous said...

http://www.allsoftreviews.net

 
At 12:44 PM, Anonymous Obat Herbal Vertigo said...

nice post !!

 

Post a Comment

<< Home